Ruang sidang Pengadilan Negeri bergemuruh. Masyarakat
berteriak-teriak menghujat terdakwa. Mereka menuntut pengadilan
menjatuhkan pidana mati - bahkan dengan eksekusi berupa hukum pancung.
Sebab, mereka menganggap perbuatan terdakwa sudah tidak bisa diampuni
lagi oleh siapa pun. Bahkan, oleh Tuhan.
Terdakwa digiring ke pengadilan atas tuduhan berbuat syirik. Ini
sebuah dakwaan yang jauh lebih berat dibanding makar. ”Terdakwa telah
berani mengaku sebagai Allah. Ini bahkan jauh lebih nekat dibanding
perbuatan Lia Eden yang mengaku sebagai Malaikat Jibril,” ucap Jaksa
Penuntut Umum dalam dakwaan.
Sejumlah bukti diajukan ke depan pengadilan. Yakni kapur, penghapus,
dan papan tulis. Di papan tulis tersebut terbaca dengan jelas kalimat Aku Allah.
Dari kursi pesakitan, terdengar sangat lantang suara terdakwa yang
mengakui goresan tangannya tersebut. ”Ya, itu memang tulisan saya. Tidak
saya sangkal,” tegasnya.
Terdakwa seorang guru yang sehari-hari mengajar pelajaran agama di
sebuah SMA. Dia dituduh telah menciptakan keresahan di sekolah. Sebab,
ajarannya dianggap berbau syirik. Terdakwa mengucapkan,” Aku Allah,” dan
para siswa diminta menirukannya. Oleh seorang siswa, ajaran sesat
tersebut dilaporkan kepada kepala sekolah. Terdakwa kemudian
dipolisikan.
”Kami tidak menyangka terdakwa berbuat senekat itu. Sehari-harinya,
dia guru yang baik. Tak pernah ada keluhan dari siswa sampai terjadi
kasus ini,” papar Kepala Sekolah di kursi saksi. Namun, menurut dia,
sejak beberapa bulan terakhir terdakwa diketahui mengikuti kegiatan
sebuah aliran tarikat tertentu. Tarikat keagamaan itulah yang dicurigai
telah mencuci otak terdakwa sehingga menjadi bersikap ekstrem.
”Benar Anda telah mengaku sebagai Allah?” tanya Ketua Majelis Hakim.
”Tidak benar, Pak Hakim.”
”Bukankah Saudara tadi mengakui tulisan di papan tulis itu goresan tangan Saudara?”
”Ya, benar, Pak Hakim. Itu tulisan saya.”
”Lalu, mengapa sekarang Anda menyangkal telah mengaku sebagai Allah?”
”Saya tidak pernah mengaku sebagai Allah.”
”Terdakwa, saya minta jangan berbelit-belit.”
”Saya, Pak Hakim.”
Jaksa gemas mendengar penyangkalan terdakwa. ”Kami tidak hanya punya
bukti, tapi juga punya saksi. Banyak saksi. Sewaktu kejadian perkara,
empat puluh siswa melihat dan mendengar terdakwa mengucapkan kalimat Aku Allah,” tegasnya. Jaksa menyatakan bisa mengajukan para saksi itu ke persidangan hari ini.
”Terdakwa,” kata Ketua Majelis Hakim.
”Saya, Pak Hakim,” jawab Terdakwa.
”Benarkah tuduhan jaksa?”
”Bila yang dituduhkan adalah saya mengucapkan dan menulis kalimat Aku Allah, itu benar adanya, Pak Hakim.”
”Maksud Saudara?”
”Saya tidak pernah mengaku sebagai Allah.”
”Lalu, kalimat itu tadi?”
”Itu firman Allah sendiri, Pak Hakim. Sebagai guru agama, saya
mengajari para siswa membaca ayat-ayat suci. Kalimat lengkapnya: Sesungguhnya Aku Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku, dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku (1). Begitu, Pak Hakim.”
Ketua majelis hakim dan kedua hakim lainnya tertegun. Mereka tak bisa
berkata-kata lagi setelah mendengar keterangan terdakwa. Tapi, jaksa
justru sebaliknya. Dengan nada berkobar, dia mendesak pengadilan
mendengarkan keterangan para saksi.
”Pancung, pancung! Guru musyrik! Pancung saja. Tidak perlu pengadilan segala,” seru seorang pengunjung sidang.
”Iya! Pancung, pancung!” teriak yang lain.
Polisi terpaksa membuat pagar hidup untuk memisahkan terdakwa, jaksa,
hakim, dengan para pengunjung sidang yang mulai anarkhis. Bagaimana
dengan kursi pembela? Ternyata kosong. Tak ada pengacara yang berani
menangani kasus ini. Apalagi, sejak awal terdakwa memang menolak
didampingi pengacara.
”Saksi, benarkah Anda melihat dan mendengar sendiri terdakwa
mengucapkan kalimat Aku Allah?” tanya jaksa. Seorang gadis berseragam
putih abu-abu yang duduk di kursi saksi mengangguk pasti. ”Benar,”
jawabnya. Gadis berkepang dua itu bahkan mengaku yang melaporkan
terdakwa ke kepala sekolah.
”Apakah terdakwa memaksa para siswa untuk mengucapkan kalimat yang sama?”
”Tidak, Pak.”
”Sebelum peristiwa itu, apa yang terjadi?”
”Seperti biasa, Pak. Pak Guru mengabsen tiap siswa. Lalu,
mengeluarkan kitab suci dari dalam tas dan meletakkannya di atas meja.
Berdiri di depan kami, kemudian mulai mengajar.”
”Dan, terjadilah peristiwa pengucapan kalimat Aku Allah itu?”
”Benar, Pak.”
”Terdakwa menuliskan kalimat Aku Allah di papan tulis?”
”Benar, Pak.”
Karena tidak didampingi pengacara, terdakwa diberi kesempatan untuk
membela dirinya sendiri. Hakim menanyakan tanggapan terdakwa terhadap
kesaksian tadi. ”Tidak ada yang dusta, Pak. Semua yang dikatakan saksi
benar,” kata terdakwa,” tapi, saya mohon diizinkan mengajukan saksi
juga.”
Demi asas praduga tak bersalah dan persamaan kedudukan di depan
hukum, permintaan terdakwa dikabulkan. Seluruh siswa yang sedianya akan
diajukan sebagai saksi oleh jaksa justru lebih dulu diajukan sebagai
saksi oleh terdakwa. ”Perkara ini harus direkonstruksi dari awal. Yakni
dari pembacaan absensi kehadiran siswa,” ucapnya.
Petugas pengadilan cukup kerepotan menata kursi-kursi untuk para
saksi yang semua berseragam putih abu-abu itu. Sidang sempat diskors
beberapa saat. Setelah semua rapi, sidang dilanjutkan kembali. Bagaikan
adegan drama, terdakwa berdiri di hadapan para saksi sebagaimana
biasanya berdiri di depan para siswanya sendiri.
Dia mengeluarkan selembar kertas dari saku, membuka lipatannya, lalu
mulai membaca. Ternyata, yang dibacanya adalah daftar absensi kehadiran
siswa. ”Aini!” serunya. Sebuah acungan telunjuk menjawab absensi itu.
”Abdi!” seru terdakwa. Sebuah acungan tangan dari deret belakang kursi
saksi menjawabnya.
Saat daftar absensi sampai pada nama Laksmi, yang dipanggil
menjawab,”Ada!”. Giliran dipanggil namanya, seorang saksi bernama
Mozzante berdiri dan menjawab,” Hadir.” Hingga akhirnya sampai urutan
terakhir, terdakwa memanggil Zulaikha dan pemilik nama mengangkat tangan
kanan terbuka.
Para hakim dan jaksa masih tidak mengerti dengan adegan absensi
kehadiran siswa ini sampai terdakwa membuka pembicaraan. ”Majelis Hakim
melihat. Saya memanggil Aini, tapi yang menjawab adalah telunjuk.
Acungan telunjuk tangan. Apakah telunjuk itu yang bernama Aini?”
terdakwa melempar filosofi.
”Maksud Saudara?” tanya Hakim Anggota.
”Apakah telunjuk itulah yang bernama Aini atau telunjuk itu milik
Aini atau telunjuk itu personifikasi dari diri Aini? Siapakah yang
sesungguhnya layak disebut Aini? Apakah telunjuk itu bergerak di luar
kehendak Aini?”
”Saya dengar tadi ada juga saksi yang menjawab dengan suara lantang. Dengan mulut terbuka.”
”Nah, apakah mulut itu yang bernama Laksmi atau mulut itu milik
Laksmi atau mulut itu personifikasi dari diri Laksmi? Siapa sesungguhnya
yang layak disebut jatidiri?” terdakwa balik bertanya.
Seisi ruang sidang terdiam. Sebagian pengunjung sidang yang
sebelumnya berteriak-teriak, kini tampak mengerutkan dahi. Mereka
berpikir keras memahami kata-kata terdakwa.
”Mohon izin memanggil lagi seorang saksi untuk mendekat,” pinta terdakwa.
”Silakan,” jawab Ketua Majelis Hakim.
Terdakwa yang sangat paham dengan watak dan perilaku para siswanya
kembali beraksi. Dia melihat ke deretan para saksi. Gustaf, seorang
siswanya yang juga maju sebagai saksi, duduk persis di belakang Adi,
seorang siswa lainnya yang badung. Kedua siswa ini acap berantem
gara-gara tingkah Adi yang suka jahil.
”Gustaf, silakan maju,” kata terdakwa.
Gustaf yang bertubuh tambun berdiri dengan malas. Tapi, baru tiga
langkah, dia jatuh berdebum. Seluruh mata tertuju pada insiden tersebut.
”Huh, Adi!” ujar Gustaf kesal. Adi yang dituduh menjegal Gustaf hanya nyengir tanpa raut dosa. Pengadilan sempat ricuh sampai-sampai hakim mengetukkan palu berulangkali. ”Tenang, tenang. Harap tenang!”
Majelis hakim mulai jengkel dengan terdakwa. Namun, sebelum para
hakim berkata apa-apa, dia langsung menyerobot kesempatan bicara.
”Majelis hakim yang terhormat melihat sendiri. Kaki yang menjegal, tapi
Adi yang dituduh,” jelas terdakwa. Jaksa langsung berdiri melempar
protes.
”Keberatan. Terdakwa mencoba berfilosofi. Terdakwa mencoba keluar
dari materi dakwaan,” tegas jaksa. Menurutnya, kaki, tangan, mulut, dan
anggota tubuh lainnya merupakan satu kesatuan yang tidak bisa
dipisah-pisahkan. Pembedaan antara Adi dan kaki, serta Aini dan tangan,
hanya mengada-ada.
”Terdakwa,” kata Ketua Majelis Hakim.
”Saya, Pak Hakim.”
”Tanggapan Saudara?”
”Kaki, tangan, mulut, dan anggota tubuh lainnya memang satu kesatuan
tapi terpisah-pisah. Menyatu tapi tidak menjadi satu. Kalau kaki menyatu
dengan kepala, cacat namanya, Pak,” terang terdakwa.
Suasana tegang berubah menjadi cair. Seisi ruang sidang tertawa
kecuali jaksa. ”Sebenarnya, pesan apa yang sedang Saudara coba sampaikan
kepada pengadilan?” tanya Hakim.
”Sederhana saja, Pak. Ada dua hal. Pertama, bahwa kaki, tangan,
mulut, dan anggota tubuh apa pun itu, tak bisa bergerak jika tak
digerakkan oleh Pemilik tubuh. Oleh Jatidiri,” jelas terdakwa.
”... Dan bukan kau yang melempar ketika kau melempar tapi Allah-lah yang melempar (2),” ucap terdakwa mengutip sebuah ayat suci.
Para hakim dan jaksa masih diam. ”Kedua, apakah salah jika kepala
Gustaf mengaku sebagai Gustaf? Apa keliru jika kaki Adi mengaku sebagai
Adi? Justru keliru kalau kepala Gustaf mengaku sebagai Adi,” papar
terdakwa.
Terdakwa juga berkeyakinan bahwa seluruh makhluk hidup menyatu dengan
Tuhan. Tidak ada yang bisa keluar dari Lingkaran Tuhan yang Maha Agung.
Menyatu tapi tidak menjadi satu, menyatu tapi tidak menjadi Satu. ”Tiap
diri adalah Kaki Tangan Tuhan. Saya siap dipidana mati demi membela
keyakinan itu,” tegas terdakwa.
Ruang sidang menjadi sunyi. Mencekam. Gegap gempita tuntutan hukum
pancung berubah senyap. Terdakwa berdiri tegap, mengadili setiap pasang
mata yang tertuju kepadanya.
---
Depok, 2 Agustus 2006
(1) Al Qur'an Surat Thaahaa ayat 14.
(2) Al Qur'an Surat Al Anfaal ayat 17.
======
Candra Malik, pengasuh Pesantren Asy-Syahadah Segoro Gunung, di lereng Gunung Lawu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar